Sabtu, Juni 20, 2009

ENERGI ALTERNATIF - BIODIESEL

Kian membengkaknya volume impor solar telah menggalakkan upaya-upaya di dalam negeri untuk mengembangkan bahan-bahan bakar yang diharapkan bisa menyubstitusi minyak diesel fosil tersebut.

Minyak lemak (fatty oil yang berasal dari tumbuh-tumbuhan menjadi fokus upaya penelitian dan pengembangan berbagai lembaga, antara lain berdasar pada kenyataan 105 tahun yang lalu, yaitu Worlds Fair tahun 1900 di Paris. Saat itu, Rudolf Diesel pernah mendemostrasikan mesin temuannya yang dapat dioperasikan dengan menggunakan bahan bakar minyak kacang.

Minyak lemak merupakan bahan bakar terbarukan, karena berasal dari tumbuh-tumbuhan. Di Negara kita banyak sekali terdapat tumbuh-tumbuhan penghasil minyak lemak. Tak kurang dari 50 jenis tumbuhan bisa diolah menjadi sumber bahan bakar alami (BBA) contoh yang populer adalah sawit, kelapa, jarak pagar, dan kapok atau randu.

Dengan maksud turut memberikan pencerahan kepada berbagai kelompok masyarakat, tulisan ini akan menyoroti permasalahan kelayakan teknis penggunaan tiga jenis bahan bakar berbasis atau bercikal bakal minyak lemak untuk mesin diesel. Ketiga jenis bahan bakar termaksud adalah minyak lemak mentah (crude fatty oil/crude vegetable oil), minyak-lemak semi mulus (semi refined fatty oil), dan biodiesel ester metill (BEM) atau biasa disebut biodiesel.


Minyak lemak mentah


Minyak lemak mentah adalah minyak lemak yang diperoleh dari pemerahan atau pengempaan biji sumber minyak (oilseed) tanpa mengalami pengolahan lanjut apa pun, kecuali penyaringan dan pengeringan (untuk menurunkan kadar air). Dua faktor yang secara dini dapat diantisipasi para ahli akan berdampak negatif pada penggunaan minyak lemak mentah sebagai bahan bakar mesin diesel adalah :

  1. Minyak lemak mentah selalu mengandung sejumlah kecil fosfor, terutama dalam bentuk senyawa-senyawa yang oleh para ahli kimia minyak lemak disebut fosfolipid. Beberapa minyak mentah bisa mengandung fosfo sampai rusan bagian per juta (part per milliom/ppm). Pembakaran dalam mesin diesel akan mengubah fosfor ini menjadi garam atau asam fosfat, yang kemudian mengendap sebagai kerak di dalam kamar pembakaran atau terbawa keluarsebagai pencemar udara oleh emisi gas buang.
  2. Minyak lemak mentah selalu mengandung asam-asam lemak bebas (free fatty acids). Penyimpanan dan penanganan serampangan atau kurang cermat terhadap biji sumber minyak -dari sejak dipanen sampai siap diperah - bisa mengakibatkan minyak lemak hasil pemerahan berkadar asam lemak bebas tinggi (angka asam >2 mg-KOH per gram minyak). Asam lemak bebas bersifat korosif sehingga akan merusak berbagai komponen mesin diesel, yaitu cepat berkarat.


Berbagai uji coba yang dilakukan di negara-negara maju pada peralihan dekade 1970/1980-an memang kemudian membuktikan kedua dampak negatif dikemukakan di atas, sehingga para ahli menyatakan minyak lemak mentah sangat tidak layak jika secara langsung dijadikan bahan bakar mesin diesel, kecuali kalau terbukti rendah kadar fosfor dan asam lemak bebas.

Tapi jangan khawatir, fosfor yang merugikan ini dapat disingkirkan dari minyak lemak dengan pengolhan yang disebut penyingkiran getah (degumming). Sedangkan asam-asam lemak bebas dapat dihilangkan dengan dua cara alternatif, yaitu netralisasi dan pemulusan dengan kukus (steaming refining. Minyak lemak yang telah dibersihkan dari fosfor dan asam-asam lemak bebas disebut minyak lemak semimulus (refined fatty oil).

Minyak lemak pangan mulus adalah yang dikenal khalayak ramai dengan sebutan minyak goreng. Dalam komunitas peneliti dan pengembang bahan bakar mesin diesel, minyak lemak mulus dan semi mulus disebut straight vegetable oil (SVO). Jadi straight rapeseed oil, straight soybean-oil, staraight plam oil, straight jatropha oil mestinya adalah minyak-minyak lemak yang paling sedikitnya semimulus.

Sayang sekali, kerancuan bisa terjadi di kalangan masyarakat, karena beberapa peneliti yang kurang cermat atau agak gegabah (di luar maupun di dalam negeri) menyebut minyak lemak mentah yang mereka teliti adn kembangkan sebagai minyak pangan mulus (straight vegetable oil). Padahal benar-benar berbeda. Mesin bisa rusak jika langsung menggunakan minyak lemak mentah.


Minyak lemak semimulus


Percobaan demi percobaan penggunaan aneka minyak lemak semimulus atau SVO sebagai bahan bakar mesin diesel telah banyak dilakukan di negara-negara barat sejak akhir dekade 1970-an. Pada umumnya hasil-hasil aneka uji coba tersebut, mesin-mesin yang berbahan bakar SVO menunjukkan performa atau unjuk kerja yang memuaskan jika pengujian dilakukan dalam jangka waktu pendek (beberapa puluh jam).

Akan tetapi, jika uji coba dilanjutkan sampai berjangka waktu panjang (ratusan sampai ribuan jam), akan timbul berbagai permasalahan atau kerusakan berat pada mesin. Kerusakan itu bisa berupa penyumbatan injektor bahan bakar, degradasi pelumas mesin, hingga pelengketan cincin torak (piston ring).

Emisi beberapa zat pencemar udara di dalam gas buang mesin diesel berbahan bakar SVO juga lebih besar dari mesin berbahan bakar solar. NOx dan aldehid adalah dua zat pencemar udara yang peningkatan emisinya paling menonjol. Bahkan emisi aldehid meningkat 200%-300%.

Dua ahli bahan bakar hayati dari Departemen Pertanian Amerika Serikat, Gerhard Knothe dan Robert O. Dunn, di dalam tinjauan komprehensif berjudul "Biofuels derived from vegetable oils and fats" (2001) mengemukakan, dua aldehid yang paling terdapat dalam emisi gas buang mesing diesel berbahan bakar SVO adalah formaldehid dan akrolein (propenal). Zat yang disebut terakhir ini jauh lebih berbahaya dibanding formaldehid dan diduga terbentuk dari dekomposisi gugus gliserol dalam SVO.

Kebanyakan ahli bahan bakar hayati berpendapat sama, dampak negatif penggunaan SVO sebagai bahan bakar di dalam mesin diesel tersebut di atas disebabkan tiga faktor, yaitu SVO memiliki kekentalan (viskositas) yang jauh lebih besar dari minyak/solar. Pompa penginjeksi bahan bakar di dalam mesin diesel tak mampu melakukan pengabutan (atomization) yang baik saat SVO disemprotkan ke ruang pembakar.

Kebanyakan SVO memiliki angka setna (cetane rating) yang rendah, yaitu 32-40. Angka setana adalah tolok ukur kemudahan menyala/terbakar dari suatu bahan bakar di dalam mesin diesel. Persyaratan angka setana solar di Indonesia sekarang minimal 45, sedangkan di negara-negara maju lebih tinggi lagi, minimal 50.

Zat-zat penyusun SVO, yaitu trigliserida adalah zat-zat berberat molekul besar, sehingga jika terpanaskan tanpa kontak dengan udara (oksigen) akan mengalami perengkahan (cracking) menjadi aneka molekul kecil, semisal formaldehid dan akrolein.


Ada dua cara alternatif yang bisa ditempuh untuk mengatasi hambatan-hambatan terhadap pemanfaatan SVO sebagai bahan bakar mesin diesel yang telah diuraikan di atas. Kedua cara tersebut adalah :

  1. Memodifikasi (mengubah) mesin diesel agar dapat menggunakan langsung SVO sebagai bahan bakar (kata straight pada istilah SVO sebenarnya adlah sinonim dari unmodified).
  2. Modifikasi SVO (atau minyak lemak) agar sesuai dengan persyaratan bahan bakar mesin-mesin diesel yang lazim (sudah banyak tersedia). Modifikasi ini bertujuan mengubah minyak-lemak menjadi bahan bakar yang berberat molekul lebih kecil, kekentalannya hampir sama dengan minyak diesel/solar, dan berangka setana besar. Biodiesel ester metil adalah contoh produk modifikasi yang dewasa ini paling populer dan masyarakat biasanya menybut sebagai biodiesel.



Tatang H. Soeradjaja
Staf Pengajar Departemen Teknik kimia dan Kepala Pusat Penelitian Pendayagunaan Sumberdaya Alam dan Pelestarian Lingkungan ITB;
Ketua Forum Biodiesel Indonesia.
(PR 14 Juli 2005, Subbid. Promosi Karya Ilmiah Jaip LIPI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar